Senin, 15 Februari 2010

KEMISKINAN

TEORI KEMISKINAN

Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.

Ada banyak teori tentang kemiskinan, namun menurut Michael Sherraden (2006:46-54) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yang saling bertentangan dan satu kelompok teori yang tidak memihak (middle ground), yaitu teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu (behavioral), teori yang mengarah pada struktur social, dan yang satu teori mengenai budaya miskin. .
Menurutnya Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan capital manusia (human capital). Teori ini disajikan dalam teori ekonomi neo-klasik, yang berasumsi bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Perspektif ini sejalan dengan teori sosiologi fungsionalis, bahwa ketidak setaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Terori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. .
Teori Struktural yang bertolak belakang dengan terori perilaku memandang bahwa hambatan-hambatan structural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variasi teori structural ini terfokus pada topic seperti ras, gender atau ketidak sinambungan geografis dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras. .
Teori budaya miskin yang dikembangkan oleh Oscar Lewis dan Edward Banfield ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya. .
Menurut Michael Sherraden bahwa dalam berbagai bentuk, teori budaya miskin ini berakar pada politik sayap kiri (Lewis) dan politik sayap kanan (Banfield). Dari sayap kiri, perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin, yang mengindikasikan bahwa adanya disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional terhadap keadaan-keadaan yang sulit (Michael Sherraden : 2006, Parsudi Suparlan : 1995). Dengan kata lain kelompok sayap kiri cenderung melihat budaya miskin sebagai sebuah akibat dari struktur social. Sebaliknya kelompok sayap kanan melihat tingkah laku dan budaya masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam struktur social. .
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam studi tentang kemisinan, yaitu pedekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektik yaitu pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standart kehidupan, sedangkan pendekatan subyektif adalah pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada dilingkungannya. Seperti diungkapkan oleh Joseph F. Stepanek, ed. (1985) bahwa pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri. .
Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga . .
Seperti BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. .
Sedangakn pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. .
Berbeda dengan pendekatan lainnya Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Kemiskinan adalah konsep abstrak yang dapat dijelaskan secara berbeda tergantung dari pengalaman, perspektif, sudut pandang yang diambil, dan terkadang dari ideologi yang dianut. Diawali hanya aspek ekonomi, berbagai pemikiran baru tentang kemiskinan yang memasukkan aspek ketidakberdayaan (powerlessness) dan keterkucilan (isolation), kerentanan (vulnerability) dan keamanan (security) muncul sebagai konsep yang banyak dikaitkan dengan kemiskinan. Selain itu juga dikembangkan pemahaman mengenai penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) (Ellis, 1998). Amartya Sen kemudian menekankan perlunya meningkatkan kemampuan individu yang memungkinkan mereka melaksanakan kegiatan dalam masyarakat. Belakangan juga dimasukkannya relasi gender dalam konsep kemiskinan. Akhirnya, pada 1990an konsep kemiskinan diperluas dengan munculnya gagasan mengenai kesejahteraan (well-being) dan ketersisihan sosial (social exclusion). Perkembangan itu mengilhami pengertian kemiskinan dalam Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK, 2004), yang mendefinisikan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya (meliputi hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi, tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan hak untuk berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan) untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Secara umum, kemiskinan biasa didefinisikan sebagai kondisi keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Definisi ini mengandung dua kata kunci, yaitu keterbatasan kemampuan dan hidup secara layak. Bentuk keterbatasan kemampuan sangat bervariasi, dan antara lain dapat berupa keterbatasan keterampilan, kondisi kesehatan, penguasaan aset ekonomi dan keterbatasan informasi. Sedangkan ukuran hidup secara layak akan sangat bervariasi tergantung pada norma dan kesepakatan sosial.

Konsep kemiskinan yang dirumuskan pada gilirannya melahirkan atribut-atribut kemiskinan sebagai penanda. Awalnya, atribut-atribut kemiskinan dilihat sebagai sesuatu yang absolut sebagai kondisi serba kekurangan materi. Para ilmuan kemudian membuat batas antara yang dapat disebut miskin dengan tidak miskin dengan “garis kemiskinan”, yaitu derajad kepemilikan materi atau standar kelayakan hidup orang (-orang) atau keluarga yang berada di garis atau di bawah garis subsisten. Indikatornya sangat terukur, dimana ada standar kehidupan yang dikategorikan secara berjenjang, yakni di bawah garis kemiskinan, pada garis kemiskinan, di atas garis kemiskinan. Kemiskinan absolut diukur dengan menggunakan garis kemiskinan yang konstan sepanjang waktu yang biasanya berupa jumlah atau nilai pendapatan dalam unit uang. Namun ukuran bisa pula berbentuk jumlah konsumsi kalori, atau lainnya, yang memungkinkan adanya perbedaan jumlah atau nilai perbedaan pendapatan dalam unit uang. Parameter ini merupakan ukuran yang tetap. Kriteria pengukuran seperti itu diperoleh dari pendekatan yang gunakan, yaitu pendekatan biologis dan pendekatan kebutuhan dasar.

Kemiskinan absolut dalam pengukurannya menggunakan pendekatan obyektif. Disebut obyektif karena indikatornya telah ditentukan oleh mereka yang bukan golongan miskin, misalnya BPS dan BKKBN. Masalahnya kemudian, data BPS dan BKKBN yang menunjukkan jumlah orang miskin di Indonesia sulit dipakai untuk poverty targeting yang bisa melacak siapa sesungguhnya yang miskin di Indonesia karena ketiadaan garis kemiskinan yang fair dan well defined karena garis kemiskinan BPS sangat konservatif dan sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan. Selain itu data kemiskinan versi BPS adalah data agregat (nasional) yang merupakan hasil estimasi dari sampel. Data seperti ini tidak bisa digunakan sebagai basis program pengentasan kemiskinan karena tidak bisa menunjukkan siapa dan dimana orang miskin itu berada. Data ini secara inheren dirancang untuk melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis kemiskinan, dimana orang miskin menjadi anonim, hanya berupa angka. Sementara itu data dari BKKBN yang berbasis data rumahtangga pra sejahtera memiliki kriteria yang sangat beragam namun sering tidak sesuai dengan kondisi. Selain itu kedua sumber data ini juga memiliki keterbatasan tidak dapat menangkap karakter kemiskinan itu sendiri. Sampai saat ini, ukuran tersebut tetap digunakan untuk menghitung jumlah dan penentuan sasaran program-program penanggulangan kemiskinan. Atribut-atribut absolut tersebut selanjutnya dipertanyakan oleh berbagai pihak, baik “garis kemiskinan” itu sendiri maupun atribut lain-lain yang lebih luas atau multidimensi dari sekedar atribut ekonomi. Dengan demikian, atribut kemiskinan menjadi relatif berdasarkan realita empirik.

Memandang kemiskinan sebagai gejala relatif adalah kriteria yang berasas arbitrer sehingga kemiskinan mungkin justru berada dalam fraksi tertentu orang-orang yang berpenghasilan rata-rata atau di bawahnya. Dengan menggunakan model kemiskinan absolut, lebih sedikit orang yang termasuk dalam kategori miskin daripada kalau menggunakan model kemiskinan relatif. Model kemiskinan relatif, meskipun lebih menggambarkan realita empirik yang penting bagi tujuan penelitian ilmiah sosial namun batas-batasnya seringkali kabur bagi tujuan pembuatan kebijakan. Bahkan golongan miskin memungkinkan akan lebih banyak orang masuk dalam kategori miskin. Batas-batas kabur ini menggambarkan relativitas dinamik dari golongan miskin sebagaimana ditemukan dalam realitas empirik. Model pengukuran kemiskinan relatif ini dikenal dengan pendekatan subyektif, dimana atribut-atribut sebagai penanda kemiskinan ditentukan oleh golongan miskin dan warga di sekitarnya. Pengumpulan data dalam hal ini biasanya dilakukan melalui proses ‘kajian partisipatif’, misalnya participatory poverty assessment (PPA), PRA dan sejenisnya.

Atribut-atribut (absolut dan relatif) kemiskinan pada dasarnya dibuat untuk mempermudah mengetahi ada dan tidaknya fenomena kemiskinan dan siapa saja yang bisa disebut golongan miskin atau lebih dikenal dengan data kemiskinan. Saat kemiskinan dianggap ada, lalu dipandang sebagai masalah dan kemudian akan ditanggulangi oleh berbagai pihak. Penanggulangan kemiskinan bukan pada penghilangan atribut-atribut kemiskinan --karena atribut-atribut itu bersifat relatif, meski ada yang (di)absolut(kan)--, melainkan menemukan sebab-sebab bagaimana atribut-atribut itu hadir. Pemahaman mengenai penyebab kemiskinan inilah yang pada akhirnya menentukan keberhasilan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan.

Dalam ilmu sosial, sebab-sebab kemiskinan secara dominan dipengaruhi oleh dua pendekatan besar, yaitu budaya kemiskinan dan kemiskinan struktural. Pendekatan budaya kemiskinan sangat dipengaruhi oleh Lewis (1961, 1966), yang memandang bahwa kebudayaan menyebabkan sekaligus memantapkan kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan merupakan cara hidup yang tidak hanya dikembangkan oleh golongan miskin, tetapi juga ditransmisikan dari generasi ke generasi. Pada cara hidup, golongan miskin dipandang sebagai satuan sosial yang diskret, menyandang suatu kebudayaan kemiskinan yang khas, yang berbeda dari masyarakat lain di luarnya. Perbedaan budaya itu pada gilirannya menjadikan orang miskin tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat yang lebih luas, yang pada tahap selanjutnya mereka mengembangkan seperangkat coping mechanism yang dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif seperti kehidupan yang kacau, hilangnya masa kanak-kanak dalam siklus kehidupan orang miskin, maraknya gejala hidup bersama tanpa menikah, maraknya gejala tindak kriminal dan banyaknya anak-anak yang ditinggalkan orang tua. Pada situasi itu, orang miskin dicirikan dengan atribut-atribut khusus, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tingkat pendidikan rendah, serta tidak mempunyai daya juang dan kemampuan untuk memikirkan masa depan.

Pendekatan kebudayaan kemiskinan yang dikembangkan Lewis memiliki andil dalam mengungkap penyebab kemiskinan, namun konsep itu tidak sepenuhnya dapat menjelaskan penyebab kemiskinan yang terjadi pada golongan miskin. Kelemahan konsep budaya kemiskinan karena anti sejarah dan mengesampingkan asal-usul kelakuan dan norma-norma yang ada (Gans, 1984 [dalam Baker 1980: 6). Konsep itu sangat normatif dan hanya merupakan kecurigaan dan prasangka buruk golongan atas terhadap golongan miskin. Padahal bukti empiris menunjukkan bahwa orang miskin adalah pekerja keras, mempunyai aspirasi dan motivasi untuk memperbaiki nasib. Mereka mampu menciptakan pekerjaan sendiri serta bekerja keras untuk memenuhi tuntutan hidup (Papanek dan Kuncorojakti, 1986). Di samping itu, mereka juga berusaha merubah nasib dengan cara beralih dari satu usaha ke usaha lainnya dan tidak mengenal putus asa. Bahkan kehadiran mereka di kota mempunyai andil dalam menopang kehidupan di kota (Suparlan, 1993). Melalui kegiatannya, mereka memberikan peluang bagi warga kota menikmati pelayanan yang murah. Kenyataan ini merupakan bukti bahwa kaum miskin tidak seperti digambarkan oleh Lewis dalam kebudayaan kemiskinan. Sehingga kemiskinan dengan demikian lebih dominan berwajah struktural.

Cara pandang struktural berpendapat bahwa struktur sosial memantapkan kemiskinan. Tekanan-tekanan struktural seperti politik dan ekonomi mengakibatkan sejumlah orang dalam populasi terdorong ke posisi yang tidak menguntungkan. Sebagai bagian dari struktur, mereka tidak atau kurang mampu menghadapi struktur yang demikian kuat, sehingga secara relatif tetap lemah dalam posisi itu (Valentine 1968). Kemiskinan struktural menurut Alfian (1980:5) didefinisikan sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu, tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Pendekatan ini dilandasi oleh kenyataan bahwa meskipun sumberdaya yang cukup besar telah disalurkan ke sektor-sektor yang didominasi golongan miskin. Namun golongan miskin tidak mendapat keuntungan dari sumber daya tersebut karena adanya struktur yang menjadi penghalang. Struktur yang dimaksud di sini adalah struktur kekuasaan dan tata pemerintahan, serta struktur sosial lebih luas yang menyebabkan terjadinya ketimpangan, ketersisihan dan hilangnya kapabilitas seseorang untuk mendapatkan sumberdaya yang ada. Struktur-struktur yang ada dianggap telah melakukan pemiskinan dengan merampas daya sosial sosial, budaya, ekonomi dan politik sekelompok orang (GAPRI, 2005), mengungkung dan menghalangi golongan miskin untuk maju, yang kemudian diberi atribut sebagai golongan yang tidak berdaya. Proses pemiskinan (terstruktur) hampir selalu dilakukan oleh pihak-pihak yang akan diuntungkan jika kemiskinan bisa dilanggengkan. Pihak-pihak tersebut bisa aparat negara (dalam konteks berbangsa dan bernegara), bisa pula para tetua dan tokoh masyarakat (toma), tokoh adat (toda), dan tokoh agama (toga) di lingkungan komunitas itu sendiri.

Meski kedua pendekatan ini memiliki penekanan yang berbeda --kebudayaan dan struktur sosial dalam tulisan ini adalah dua dimensi analisis yang berbeda--, keduanya berada dalam ruang paradigma struktural-fungsionalisme. Struktur-fungsionalis memandang bahwa fungsi adalah tugas sosial, suatu kegiatan yang harus dilaksanakan dengan tingkat ketepatan tertentu (Saifuddin, 2005: 159). Setiap individu menempati status yang menjadi posisinya, maka kemiskinan merupakan tugas yang harus diemban karena struktur-struktur yang ada adalah baik dan ideal. Walaupun merespon, berada dalam bentuk yang kira-kira seperti robot terhadap tekanan struktural. Kedua pendekatan ini memandang masyarakat (miskin) sebagai suatu kesatuan sosial yang secara budaya khas, tunggal, dan memiliki batas-batas tegas (culturally distinctive). Dengan kata lain, “orang miskin” dalam kedua pendekatan kemiskinan ini dilihat sebagai objek statis dan tidak berdaya, baik sebagai sasaran penelitian maupun sebagai sasaran program kebijakan. Kedua pendekatan ini memandang bahwa golongan miskin tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan kebudayaan dan struktur sosial. Kegiatan manusia dipandang terhambat sedemikian jauhnya, hingga tidak ada ruang bagi pilihan yang dilakukan secara sadar, yang ada hanyalah pilihan tunggal. Orang miskin hanya pelaku sosial pasif yang hanya menyerahkan kepada perbudakan ekonomi dan politik. Tindakan sosial orang miskin dibentuk dan diatur oleh struktur-struktur raksasa yang pada umumnya tak memperdulikan pilihan-pilihan secara eksplisit. Merujuk pada Soedjatmoko, (1980: 47) orang miskin seperti seseorang yang lahir dalam berbagai struktur sosial, dan atas kekuatan sendiri ia tak mampu untuk menguasai atau mengubah struktur.

Menurut Kieffer (1984: 9 [dalam Soeharto, 1977: 212-213), ketidakberdayaan merupakan hasil pembentukan interaksi terus-menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan-diri sendiri, perasaan tidak dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan politik. Dengan demikian orang miskin baik akibat kebudayaan dan struktural adalah sama, statis = ketidakberdayaan sehingga perlu diberdayakan. Merujuk pada Black (dalam Gardner dan Lewis, 2005: 192), pemberdayaan dilukiskan sebagai ihwal “mengasuh, memerdekakan dan bahkan memberi tenaga kepada kaum miskin dan tidak berdaya”. Dari sinilah kebijakan penanggulangan kemiskinan lebih banyak diarahkan pada upaya-upaya pemberdayaan dan fasilitasi partisipasi masyarakat miskin dalam kegiatan masyarakat, asumsinya akan menciptakan peluang bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Menurut Sajogyo (2002) pemberdayaan kaum miskin adalah kunci pengentasan kemiskinan. Ada yang memahami pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Pemberdayaan berangkat dari realitas obyektif yang merujuk pada kondisi struktural yang timpang dari sisi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya masyarakat (Breton, 1994). Dia juga mengatakan bahwa realitas subyektif perubahan pada level individu (persepsi, kesadaran dan pencerahan), memang penting, tetapi sangat berbeda dengan hasil-hasil obyektif pemberdayaan: perubahan kondisi sosial. “Setiap individu tidak bisa mengembangkan kamampuan dirinya karena dalam masyarakat terjadi pembagian kerja yang semu, relasi yang subordinatif, dan ketimpangan sosial”, demikian tulis Heller (1994: 185).

Pemberdayaan diasumsikan melibatkan partisipasi kaum miskin dan menempatkan mereka sebagai subyek pembangunan. Partisipasi menjadi wacana penting gerakan pembangunan global pada dasawarsa 80-an. Titik utama pendekatan ini adalah pelibatan kaum miskin sehingga preskripsi pembangunan merefleksikan kepentingan mereka dari pada perencana. Pelibatan kaum tentu tidak saja karena asumsi ontologism bahwa semua orang punya hak yang sama, tetapi juga karena pandangan epistemologis bahwa kebenaran ataupun pengetahuan bukan hanya monopoli dari perencana atau peneliti saja, tetapi juga kaum miskin. Keberanan juga bersifat inter-subyektif sehingga penggaliannya harus melalui proses-proses partisipatif (Fakih, 2002). Pendekatan partisipatoris dalam penanggulangan kemiskinan ini semakin popular ketika Bank Dunia memahami kemiskinan dengan menggunakan pendekatan yang kini banyak dikenal dengan Participatory Poverty Assessment (PPA) dalam Consultation with the Poor/Voices of the Poor yang dimulai pada 1999 dengan melibatkan 23-60 negara, termasuk Indonesia.

Masalahnya kemudian, konsep pemberdayaan dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia banyak meminjam pendekatan terhadap kemiskinan yang berlaku di negara-negara maju seperti Amerika Serikat di mana orang miskin adalah minoritas, khas secara ras atau etnik, dan memiliki sejarah perbudakan di masa silam. Model-model penanggulangan kemiskinan tersebut biasanya memandang orang miskin sebagai kelompok-kelompok yang hidup sebagai kantung-kantung masyarakat di perkotaan. Indonesia dalam banyak hal sangat dipengaruhi oleh pendekatan seperti itu. Sebagai contoh, model-model yang diusulkan oleh Mukherjee (1999), World Bank (2001), dan Mukerjee, Harjono, Carriere (2002), yang menanggapi orang miskin sebagai kelompok-kelompok sosial yang perlu diberdayakan dan difasilitasi. Bantuan bagi orang miskin yang paling menonjol belakangan ini adalah uang tunai, yang ternyata juga penuh muatan manipulatif.

Kenyataan dari dua pendekatan kemiskinan dan praktik-praktinya, pada gilirannya membuat pertanyaan dimana sebenarnya posisi orang miskin sebagai subjek yang aktif, kreatif, dan bahkan manipulatif dalam menghadapi lingkungannya. Bukankah tingkat kemampuan orang untuk membentuk dan mengubah lingkungan merupakan persoalan empiris dan analitis? Kedua pendekatan kemiskinan sebelumnya seperti tidak peduli akan berapa jauhnya kaum miskin sebagai para pelaku sosial berjuang untuk mempertahankan hidup dengan kekuasaan yang mereka miliki. Adalah Nancy S. Hughes (1992) mencoba menjembatani posisi orang miskin di antara determinasi budaya dan dominasi struktur melalui penelitiannya di Alto de Cruzeiro, Brasil. Hughes berpendapat bahwa orang miskin maupun orang yang tidak miskin memiliki kapasitas dan potensi untuk mengembangkan strategi-strategi kreatif maupun manipulatif dalam menghadapi lingkungannya. Inilah yang mengawali pendekatan kemiskinan sebagai proses (Saifuddin, 2007; Ghofur, 2008).

Dalam penelitiannya, Hughes berupaya mengungkapkan kemiskinan menurut apa yang sesungguhnya terjadi dalam realitas empirik. Orang miskin diposisikan sebagai subjek yang berpikir dan bertindak, mengembangkan takik-taktik agar bertahan hidup. Bagi Hughes, praktik kehidupan keseharian dari orang miskin (di Alto de Cruzeiro) tidak bisa dikatakan sebagai sebuah budaya kemiskinan yang terberi begitu saja, tetapi itu merupakan praktik kehidupan keseharian sebagai usaha paling optimal dari kondisi masyarakat yang sedemikian rupa. Apalagi penderitaan yang dialami oleh masyarakat miskin melalui sejarah yang panjang melalui perlawanan bersenjata. Hughes memaparkan betapa setiap upaya masyarakat miskin untuk keluar dari situasi itu ternyata justru dicederai. Pengalaman itu menjadikan orang miskin pesimis terhadap tawaran revolusioner, yang pada gilirannya akan memperkenalkan dan mengembangkan cara-cara baru sebagai sesuatu kekuatan konkrit untuk mengubah kondisi. Dalam arti ini pemikiran Weber tentang ide sebagai kekuatan adalah benar. Ide itu sendiri juga mengubah dirinya melalui proses tindakan. Melalui pengalaman-pengalaman kaum miskin mendapatkan ide-ide dan kemungkinan-kemungkinan baru, menemukan bentuk-bentuk dan elemen baru di bidang materi, sosial dan kultural. Hal-hal baru itu pada gilirannya dipraktikkan atau mempengaruhi tindakan, maka terbukalah panggung untuk belajar lebih jauh. Orang miskin kemudian melakukan apapun untuk bertahan, termasuk dengan humor, misalnya humor mengenai proyek saluran air yang gagal dengan mengatakan ”kita tidak akan cukup makan jika proyek ini berhasil”. Setiap bantuan bagi mereka tidak pernah berarti sehingga terkadang kebisuan adalah sesuatu yang bisa melindungi mereka. Mereka sepertinya memaklumi para penjahat politik-ekonomi.

Memposisikan orang miskin sebagai subjek berarti, menerima kekuasaan, agensi, pilihan dan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan dari subjek tertindas, seseorang harus memulai meyakini kemampuan kelompok tertindas secara moral untuk merasionalisasi, berkolusi, mengkolaborasi “kesadaran palsu,” dan lebih dari sekedar kelumpuhan kehendak. Dan upaya memahami bentuk-bentuk perlawanan keseharian dalam taktik dan praktik kaum lemah seperti yang dipaparkan oleh Michel de Certeau, dan James Scott, merupakan resiko meromantisir manusia yang menderita, tapi apakah kemudian akan mengabaikan efeknya terhadap ruh, kesadaran dan kehendak orang miskin. Kemampuan memberi makna, menjalin hubungan-hubungan baik dengan kerabat dan non kerabat sebagai bagian dari upaya bertahan hidup. Hughes juga menampilkan kekerasan dalam praktik keseharian orang miskin. Pembunuhan, penghilangan orang, penjualan organ tubuh, penculikan adalah hal yang dialami sehari-hari. Kekerasan muncul dari institusi negara, termasuk dalam hal ini institusi keamanan dan penegak hukum. Institusi ini terus-menerus melakukan teror ketakutan kepada masyarakat miskin. Negara juga mengontrol secara ketat masyarakat miskin, melalui penahanan, interogasi, penjara, penghilangan orang, mutilasi, dan bahkan pembunuhan. Namun kekerasan yang dipratikkan negara melalui aparatnya bukanlah sesuatu yang maha kuat sebagaimana yang dibayangkan. Menurut Hughes, aturan dan struktur bukan merupakan nilai yang tetap atau sesuatu yang tidak dapat ditembus, melainkan menjadi sesuatu yang selalu dapat diterobos melalui beragam cara, misalnya hubungan antara si pelaku kriminal dan penjaga penjara yang berkolusi membebaskan pelaku kriminal.

Dalam hal di atas, bagi orang miskin, keadaan materi, dan lembaga dan kultur dipandang sebagai faktor penghambat, namun di sana ada fleksibilitas struktur yang membuka peluang bagi golongan miskin untuk bertindak dan melalui tindakan strukturisasi itu mereka mempertahankan atau mengubah sistem tempat mereka bertindak dan berinteraksi. Golongan miskin menyerap dan menata informasi, mempertimbangkan, membuat keputusan dan bertindak berdasarkan kepentingan mereka. Pada saat bersamaan, golongan miskin juga menginterpretasikan norma, aturan dan situasi dengan cara yang baru dan yang tak pernah diduga. Hal ini menunjukkan bahwa orang miskin pada dasarnya memiliki kekuasaan, yaitu kemampuan untuk menggerakkan dan mempengaruhi aktifitas sosial yang akan menguntungkan kepentingan orang miskin, dengan cara memanipulasi atau mengubah aturan permainan dan kesempatan-kesempatan bertindak. Dengan kata lain, kaum miskin dapat berbuat lebih dari sekedar merespon tekanan sosiokultural, di mana struktur sosial sebagai cair dan berubah, dan individu secara konstan berkompetisi dan memperebutkan sumberdaya yang terbatas untuk kepentingan sendiri dan selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan (Saifuddin, 2005: 177). Akhirnya, kemiskinan adalah praktik kehidupan sehari-hari orang miskin, yang turut serta mengkonstruksi makna kemiskinan berdasarkan kehendak mereka. Subjek mengetahui diri melalui refleksi atas tindakannya sendiri di dunia yang bukan semata-mata pengalaman, melainkan juga tindakan yang disengaja (284). Dalam hal ini, orang miskin menggunakan kemiskinan yang mereka maknai sebagai taktik-taktik mempertahankan hidup melalui pembenaran-pembenaran terhadap pandangan hidup mereka.

Menurut Paul Spicker (2002, Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths, A Catalyst Working Paper, London: Catalyst.) penyebab kemiskinan dapat dibagi dalam empat mazhab:

    • Individual explanation, diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendiri: malas, pilihan yang salah, gagal dalam bekerja, cacat bawaan, belum siap memiliki anak dan sebagainya.
    • Familial explanation, akibat faktor keturunan, dimana antar generasi terjadi ketidakberuntungan yang berulang, terutama akibat pendidikan.
    • Subcultural explanation, akibat karakteristik perilaku suatu lingkungan yang berakibat pada moral dari masyarakat.
    • Structural explanations, menganggap kemiskinan sebagai produk dari masyarakat yang menciptakan ketidakseimbangan dengan pembedaan status atau hak.


Sabtu, 06 Februari 2010

SOSIALISME & KAPITALISME

SOSIALISME, & KAPITALISME


SOSIALISME
Sosialisme adalah paham yang bertujuan membentuk negara kemakmuran dengan usaha kolektif yang produktif dan membatasi milik perseorangan. Inti dari paham sosialisme adalah suatu usaha untuk mengatur masyarakat secara kolektif. Artinya semua individu harus berusaha memperoleh layanan yang layak demi terciptanya suatu kebahagiaan bersama. Hal ini berkaitan dengan hakikat manusia yang bukan sekedar untuk memperoleh kebebasan, tetapi manusia juga harus saling tolong-menolong.
Ciri utama sosialisme adalah pemerataan sosial dan penghapusan kemiskinan. Ciri ini merupakan salah satu faktor pendorong berkembangnya sosialisme. Hal ini ditandai dengan penentangan terhadap ketimpangan kelas-kelas sosial yang terjadi pada negara feodal. Gerakan sosialis secara tradisional menyumbang perhatian dari kelas pekerja industri/buruh. Gerakan sosialis bertujuan untuk mengakhiri pembagian kelas atau class division.
Berikut merupakan para perintis sosialis
St. Simon dipandang sebagai bapak sosialisme karena dialah orang pertama yang menyerukan perlunya saranasarana produksi dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah/negara. Gagasannya merupakan benih awal lahirnya sistem kapitalisme negara (state capitalism).
Fourie, tokoh sosialis berikutnya, adalah orang pertama di Eropa yang merasa prihatin melihat pertarungan tersembunyi antara kaum kapitalis dan buruh. Dia mengusulkan kepada pemerintah Prancis agar membangun kompleks perumahan yang memisahkan kelompokkelompok politik dan ekonomi, yang dapat menampung empat hingga lima ratus kepala keluarga. Ia menganjurkan hal ini untuk menghentikan pertarungan dan pertentangan ekonomi antara kaum kapitalis dan buruh. Pandangan ini tidak mendapat tanggapan positif, sedangkan ajaran St. Simon banyak mendapat pengikut serta mendorong lahirnya Marxisme di kemudian hari.

Robert Owen, seorang ahli ekonomi yang berpandangan sam adengan Fouriee. Tetapi pandangan kurang bulat dibanding pandangan para pendahulunya. Ia mengajarkan pentingnya perbaikan ekonomi seluruh lapisan masyarakat dan penyelesaian masalah yang timbul antara kaum kapitalis dan buruh. Caranya melalui berbagai kebijakan yang dapat mengendalikan timbulnya kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial. Ia sendiri pernah menjadi manajer sebuah pabrik. Pengalamannya sebagai manajer sangat mempengaruhi pemikiran ekonominya. Sekali pun demikian ideidenya dianut banyak orang di Inggris.

Louis Blanc adalah tokoh yang revolusioner dan ikut membidangi meletusnya revolusi Prancis. Manurutnya salah satu kewajiban negara ialah mendirikan pabrikpabrik
yang dilengkapi dengan segala sarana dan bahan produksi , termasuk peraturanperaturan
yang mengikat. Selanjutnya jika pabrik itu telah berjalan dengan baik diserahkan kepengurusannya kepada buruh dan pegawainya untuk mengatur dan mengembangkan secara bebas. Organisasi dan manajemen pabrik sepenuhnya dibebankan kepada buruh, begitu pula kewenangan memajukan produksi, mencari pasar dan pembagian keuntungan. Sosialisme yang diajurkan Louis Blanc disebut sosialisme kooperatif. Manurutnya kapitalisme akan hilang dengan sendirinya apabila gagasangagasannya itu diwujudkan. Sayang, seruannya itu kurang mendapat tanggapan khalayak. Bahkan ia ditentang keras oleh para politisi dan ekonom. Pada tahun 1882 di Inggris berdiri kelompok Fabian Society yang menganjurkan sosialisme berdasarkan gilde. Tetapi pada akhir abad ke19 sosialisme dan berbagai alirannya yang berbedabeda mulai mendapat penerimaan luas di Eropa. Ini disebabkan karena mereka tidak hanya melontarkan ideide dan mengembangkan wacana di kalangan intelektual dan kelas menengah, tetapi juga terutama karena mengorganisir gerakangerakan bawah tanah yang radikal dan bahkan revolusioner.

Pierre J. Proudhon (18091865) adalah penganjur sosialisme generasi kedua di Prancis setelah generasi St. Simon dan louis Blanc. Tetapi berbeda dengan para penganjur sosialisme lain yang cenderung menghapuskan hakhak individual atas saranasarana produksi, termasuk hak petani untuk memiliki tanah garapan. Proudhon justru bersikeras memperjuangkan dipertahankan hakhak individual secara terbatas, termasuk hak petani untuk mengembangkan usahanya. Jadi ia menolak ide kolektivisme penuh dari kaum sosialis radikal seperti Marx. Bagi Marx hak individual harus dihapus, termasuk hak kepemilikan tanah. Di samping itu kaum tani bukan golongan yang penting dalam masyarakat yang bergerak menuju masyarakat sosialis sejati. Marx berpendapat demikian karena faham dialekti materialismenya, yang menganggap bahwa sejarah bisa berubah hanya disebabkan oleh faktorfaktor produksi dan penguasaan sarana produksi oleh kaum
proletar yang selama ini diperas oleh kaum kapitalis. Perbedaan pandangan antara Proudhon dan Marx inilah yang membuat gerakan sosialis internasional mengalami perpecahan pada akhir abad ke19, dan sosialisme pun pecah kedalam berbagai aliran seperti sosialisme demokrat, komunisme ala Marx, sosialisme anarkis ala Bakunin, MarxismeLeninisme, sosialisme ala Kautsky, sosialisme Kristen, dan lainlain.Kecuali itu ketidak berhasilan sosialisme memperoleh pengikut yang signifikan pada masa awal, tidak pula berhasil melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat terutama disebabkan karena para penganjurnya berkampanye dikalangan elite dan intelektual. Khususnya dengan cara mengubah sentimen moral mereka, padahal merekakhususnya kaum borjuis kapitalisdengan semangat individualismenya yang tinggi tidak mengacuhkan masalahmasalah moral dan implikasi moral bagi tindakantindakan mereka. Rasa keadilan jauh dari pandangan hidup mereka. Yang penting menimbun kekayaan sebanyakbanyaknya
dengan “menghalalkan segala cara”.

Karl Marx berbeda dengan penganjur sosialisme lain sebelumnya. Ia tidak membangun gerakan. Ia tidak memberi ampun sama sekali terhadap hakhak individual dalam pemilikan sarana produksi. Ia berpendapat bahwa kekayaan individual bukan sesuatu yang terhormat dan dapat mengangkat martabat atau harkat seseorang. Karena dalam kenyataannya ia diperoleh dengan cara memeas habis tenaga dan menindas hakhak kolektif rakyat, terutama kaum yang merupakan lapisan terbesar dalam masyarakat industrial. Kekayaan individual itu justru membuat jatuhnya martabat dan kehormatan seseorang. Karena ia diperoleh dengan jalan tidak bermoral, tanpa rasa malu dan rasa bersalah. Melalui korupsi, penipuan dan berbagai penyelewengan terhadap hukum. Dehumanisasi yang dilakukan oleh kaum borjuis dan kapitalisme mencapai puncaknya pada akhir abad ke19.
Marx lantas menulis bukunya Manifesto Komunis, Das Kapital, dan lainlain. Dia menyerukan gar kaum buruh sedunia bersatu dibawah panjipanji perjuangan 'menghapus kelas'. Ia yakin bahwa kedudukan seorang buruh sebenarnya jauh lebih mulia dibanding seorang kapitalis. Alasannya karena buruhlah yang secara langsung memproduksi kekayaan bagi semua orang. Melalui seruannya Karl Marx berhasil membangkitkan semangat kaum buruh untuk berjuang. Kini mereka sadar bahwa upah yang mereka terima sebagai imbalan jerih payahnya itu lebih mulia dibanding penghasilan kaum kapitalis yang diperoleh dengan caracara yang jahat dan tidak berperikemanusiaan. Di tangan Marx, sosialisme menjadi semacam 'kepastian sejarah' dan pisau kritik yang tajam terhadap perkembangan masyarakat industrial dan kapitalisme liberal yang menghalalkan segala cara. Kemunculan gagasannya yang sangat tepat waktu, yaitu ketika wabah kapitalisme sedang merajalela di Eropa dan imperialisme Eropa menguasai negerinegeri Asia dan Afrika. Wabah ini menimbulkan penyakit dimanamana berupa tatanan sosial, kehidupan moral dan keagamaan, kezaliman, dan kedurjanaan. Dengan demikian sosialisme revolusioner dan komunisme yang lahir dari ajaran Karl Marx adalah buah simalakama dari perkembangan kapitalisme sendiri.
Ia menciptakan sosialisme yang didasarkan atas ilmu pengetahuan.
Ia mengembangkan sosialisme secara radikal. Karya Karl Marx yang terkenal adalah “Das Kapital” yang menyatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas dan pemenang dari peperangan itu adalah kaum proletar (kaum buruh).
Sosialisme pada masa penjajahan banyak mendapat simpati dari bangsa pribumi. Paham sosialisme semakin banyak berpengaruh setelah konsep ini dijadikan sebagai salah satu senjata menghadapi kolonialisme dan imperialisme. Di negaranegara Asia – Afrika, banyak pemimpin yang tertarik dengan ajaran sosialisme.
Sosialisme revolusionis tercermin pada tradisi komunis, dimana sosialisme hanya dikenakan oleh para revolusioner yang menggulingkan sistem politik dan sistem sosial yang ada.
Sosialisme reformis (evolutioneri, parlementari,atau sosialisme demokrasi) dengan kata lain, menganut sistem sosialisme melalui kotak suara dan merupakan prinsip dasar deokrasi seperti perizinan, konstitusionalisme, dan persaingan partai, yang merupakan praktek sosialis.
Fundamentalis sosialisme di buat untuk mengakhiri dan menggantikan sistemi set kapitalis. Revisionis sosialisme bertujuan tidak uintuk mengakhiri kapitalisme tetapai memperbaikinya, berusaha menjangkau sebuah pertolongan antara efisiensi dari pasar dan pandangan moral dari sosialisme. Ini merupakan pandangan yang dipakai pada sosialisme demokrasi.
Unsur unsur yang mencolok dalam gerakan sosialis adalah sebagai berikut:
Agama
Attle menulis dalam bukunya The labour Party in prespective “tempat pertama bagi pengaruh-pengaruh yang membangun gerakan sosialis harus diberikan kepada agama. Christian socialist movement yang dipimpin oleh dua orang pendeta Feredirck Maurice daan Charles Kingsley memberikan konsep yang mengatakan sosialisme harus di Kristenkan dan agama Kristen di sosialisasikan. George Lansbury, menulis dalam bukunya My England (1934) “sosialisme, yang berarti cinta, kerja sama, dan persaudaraan dalam setiap bagian dalam urusan kemanusiaan adalah satu satunya pernyataan keluar dari kepercayaan orang kristen. Saya barkeyakinan teguh apakah mereka insaf atau tidak, semua yang menyetujui dan menerima persaingan dan perjuangan diantara satu dengan yang lain sebagai cara untuk mendapatkan sepotong roti setiap hari,sesungguhnya telah mengkhianati dan meniadakan Kemauan Tuhan”
Idealisme Etis dan Estetis
Idealisme Etis dan Estetis adalah sumber penting dalam sosialisme. Idealime etis bukanlah satu program politik atau ekonomi, melainkan satu pemberontakan terhadap kehidupan yang kotor, membosankan, miskin dibawah kapitalisme industri. Berkembang mula-mula di inggris, kapitalisme menghasilkan kejelekan karena kaum industrialis tidak membayangkan apa yang akan di perbuat cara hidup yang baru itu terhadap keindahan alam. Betapa cepat kota-kota dan kampung yang indah menjadi cacat dengan munculnya daerah perkampungan yang padat dan pusat-pusat pabrik.
Empirisme Fabian
Empirisme Fabian adalah aspek yang paling khas dari gerakan buruh inggris. Fabian Society yang didirikan pada tahun 1884, namanya diambil dari nama seorang jendral Romawi, Quintus Fabius Maximus Contractor-“pengulur waktu”. Mottonya adalah “untuk mendapatkan waktu yang tepat, engkau harus menunggu seperti yang dilakukan oleh Fabius. Tetapi apabila saat yang tepat itu telah datang, engkau harus memukul dengan keras, jika tidak kepayahanmu menunggu akan sia-sia”. Sydney Web menganggap sosialisme (sebelas tahun sebelum didirikannya partai buruh) sebagaian hasil yang tidak dapat dicegah dari pelaksanaan demokrasi secara penuh. Tetapi ia menegaskan bahwa pendapatnya mengenai “keharusan cara berangsur-angsur” tajam sekali perbedaannya dari keharusan perubahan revolusioner yang menimbulkan bencana seperti anjuran Marx.Sydney Web menegaskan dalam fabian essay bahwa pengaturan kehidupan sosial hanya dapat terlaksana setapak demi setapak dan “perubahan-perubahan organis’ penting hanya dapat berlangsung di bawah empat syarat.
Pertama, perubahan-perubahan semacam itu harus demokratis, dapat diterima oleh masyarakat, dan “dipersiapkan dalam pikiran semua orang”. Kedua, perubahan harus dilaksanakan secara perlahan-lahan dan tidak menimbulkan dislokasi. Ketiga, perubahan jangan dianggap melanggar kesusilaan oleh rakyat. Keempat, perubahan harus konstitusional dan bersifat damai.











KAPITALISME
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.
Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah "a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned". (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat).
Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme).
Perkembangan Kapitalisme
Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988) menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia modern awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan merkantilisme. Direduksi kepada pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didisain untuk mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas lokal menuju skala nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis mempelajari pola-pola perdagangan internasional, di mana pasar berada dan bagamana memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka. Penjelasan Robert Learner ini paralel dengan tudingan Karl Marx bahwa imperialisme adalah kepanjangan tangan dari kapitalisme.
Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990), mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan "laissez faire"1) dalam ekonomi. Bertentangan sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan negara. Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan negara (Robert Lerner, 1988).
Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.
Habermas memandang transformasi itu sebagai peralihan dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late capitalism. organized capitalism, advanced capitalism). Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebutkan bahwa state regulated capitalism (nama lain kapitalisme lanjut) mengacu kepada dua fenomena: (a) terjadinya proses konsentrasi ekonomi seperti korporasi-korporasi nasional dan internasional yang menciptakan struktur pasar oligopolistik, dan (b) intervensi negara dalam pasar. Untuk melegitimasi intervensi negara yang secara esensial kontradiktif dengan kapitalisme liberal, maka menurut Habermas, dilakukan repolitisasi massa, sebagai kebalikan dari depolitisasi massa dalam masyarakat kapitalis liberal. Upaya ini terwujud dalam sistem demokrasi formal.
PRINSIP-PRINSIP DASAR KAPITALISME
Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand
Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas.
Menurut Rand, kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme, karena dengan pengakuan hak alami tersebut individu bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras kolektivisme, altruisme, mistisisme. Konsep dasar bebas Rand merupakan aplikasi sosial dan pandangan epistemologisnya yang natural mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan "the invisible hand" dari Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand sebagai proses yang senantiasa berkembang dan selalu menuntut yang terbaik atau paling rasional. Smith pernah berkata: "...free marker forces is allowed to balance equitably the distribution of wealth". (Robert Lerner, 1988).
Akumulasi Kapital
Heilbroner (1991) menelaah secara mendalam pengertian hakiki dari kapital. Apa yang dimaksud dengan kapital sehingga dapat menjelaskan formasi sosial tempat kita hidup sekarang adalah kapitalisme? Heilbroner menolak memperlakukan kapital hanya dalam kategori hal-hal yang material berupa barang atau uang. Menurutnya, jika kapital hanya berupa barang-barang produksi atau uang yang diperlukan guna membeli material dan kerja, maka kapital akan sama tuanya dengan peradaban.
Menurut Heilbroner, kapital adalah faktor yang mnggerakkan suatu pross transformasi berlanjut atas kapital-sebagai-uang menjadi kapital-sebagai-komoditi, diikuti oleh suatu transformasi dari kapital-sebagai-komoditi menjadi kapital-sebagai uang yang bertambah. Inilah rumusan M-C-M yang diperkenalkan Marx.
Proses yang berulang dan ekspansif ini memang diarahkan untuk membuat barang-barang dan jasa-jasa dengan pengorganisasian niaga dan produksi. Eksistensi fisik benda dan jasa itu merupakan suatu rintangan yang harus diatasi dengan mengubah komoditi menjadi uang kembali. Bahkan kalau hal itu terjadi, bila sudah terjual, maka uang itu pada gilirannya tidak dianggap sebagai produk akhir dari pencarian tetapi hanya sebagai suatu tahap dalam lingkaran yang tak berakhir.
Karena itu, menurut Heilbroner, kapital bukanlah suatu benda material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutnya. Kapital adalah suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital memang mengambil bentuk fisik, tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita memandang bahwa benda-benda material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.
Rumusan M-C-M (Money-Commodity-Money) yang diskemakan Marx atas metamorfosis yang berulang dan meluas yang dijalani kapital merupakan penemuan Marx terhadap esensi kapitalisme, yaitu akumulasi modal. Dalam pertukaran M-C-M tersebut uang bukan lagi alat tukar, tetapi sebagai komoditas itu sndiri dan menjadi tujuan pertukaran.
Dorongan Untuk Mengakumulasi Kapital (Heilbroner)
Analisis kapital sebagai suatu proses ekspansif seperti yang diuraikan di muka, ditelaah lebih dalam lagi oleh Heilbroner melalui pendekatan psikoanalisis, antropologis, dan sosiologis. Menurut Heilbroner, gagasan kapital sebagai suatu hubungan sosial menyingkapkan inti hubungan itu, yaitu dominasi. Hubungan dominasi memiliki dua kutub. Pertama, ketergantungan sosial kaum yang tak berpunya kepada pemilik kapital di mana tanpa ketergantungan itu kapital tidak memiliki pengaruh apa-apa. Kedua, dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital.
Heilbroner melontarkan pertanyaan: Apakah alasan pembenaran dari proses tanpa henti ini? Ia menyebutkan bahwa dorongan ini digerakkan oleh keinginan untuk prestise dan kemenonjolan (realisasi diri)2. Dalam bahasa Abraham Maslow, dorongan mengakumulasi kekayaan yang tidak puas-puas ini merupakan manifestasi aktualisasi diri. Namun, Heilbroner mengingatkan bahwa kebutuhan afektif ini hanyalah suatu kondisi yang perlu (necessary condition) namun belum menjadi syarat cukup (sufficient condition) untuk dorongan mengejar kekayaan. Lalu Heilbroner menemukan bahwa kekayaan memberikan pemiliknya kemampuan untuk mengarahkan dan memobilisasikan kegiatan-kegiatan masyarakat. Ini adalah kekuasaan. Kekayaan adalah suatu kategori sosial yang tidak terpisahkan dari kekuasaan.
Dengan demikian, hakekat kapitalisme menurut Heilbroner, adalah dorongan tiada henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital sebagai sublimasi dorongan bawah sadar manusia untuk merealisasi diri, mendominasi, berkuasa. Karena dorongan ini berakar pada jati diri manusia, maka kapitalisme lebih merupakan salah satu modus eksistensi manusia. Mungkin inilah sebabnya mengapa kapitalisme mampu bertahan dan malah menjadi hegemoni peradaban global.


Selasa, 02 Februari 2010

KEBIJAKAN SOSIAL & PKH

KEBIJAKAN SOSIAL ,PERLINDUNGAN SOSIAL

DAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN

Kebijakan Sosial

Salah satu tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan adalah mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan tindakan atau keputusan keputusan pilihan yang diambil oleh lembaga lembaga pemerintah sebagai pemangku dan penyelenggara pemerintahan.

Kebijakan public adalah keputusan keputusan atau pilihan pilihan tindakan yang bersifat strategis atau garis besar yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya public (alam, financial dan manusia) demi kepentingan rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga Negara. Sebuah keputusan yang bersifat mengikat public maka kebijakan politik harus dibuat oleh mereka yang memegang otoritas politk. Mereka harus menerima mandate dari public atau orang banyak, umumya melalui suatu porses Pemilu untuk bertindak atas nama, dan mewakili kepentingan rakyat banyak.(Suharto, 2009).

Salah satu bentuk kebijakan public yang penting dalam sebuah negara adalah kebijakan sosial. Semakin maju sebuah negara semakin tinggi perhatiannya terhadap pentingnya kebijakan sosial. Kebijakan sosial (Social Policy) adalah kebijakan public (public policy) yang penting di negara negara modern dan demokratis. Semakin maju dan demokratis sutau negara , semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial. Sebaliknya , di negara negara miskin dan otoriter kebijakan sosial kurang diperhatikan.

Pengertian Kebijakan Sosial

Istilah ‘kebijakan’ yang dimaksud dalam materi ini disepadankan dengan kata bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata ‘wisdom’ yang berarti ‘kebijaksanaan’ atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial terdiri dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’ dan kata ‘sosial’ (social).

Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997). Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.

Seperti halnya kata ‘kebijakan’, kata ‘sosial’ pun memiliki beragam pengertian. Conyers (1992: 10-14) mengelompokkan kata sosial ke dalam 5 pengertian:

Kata sosial mengandung pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi, arisan sering disebut sebagai kegiatan sosial.

Kata sosial diartikan sebagai lawan kata individual. Dalam hal ini kata sosial memiliki pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau suatu kolektifitas, seperti masyarakat (society) warga atau komunitas (community).

Kata sosial sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binatang. Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan.

Kata sosial sebagai lawan kata ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial berkonotasi dengan aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat volunter, swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak mencari keuntungan yang berupa uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi.

Kata sosial berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Misalnya, setiap orang memiliki hak azasi (human right) dan hak sosial (social right), seperti kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, perumahan, kebebasan dalam menyatakan pendapat, atau berpartisipasi dalam pembangunan.

Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara luas maupun sempit . Secara luas kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian.

Dalam arti sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial di sini menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna susila, kenakalan remaja, anak dan jompo terlantar.

Kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (coerse of action) dalam bentuk sebuah kerangka kerja (frame waork) , petunjuk (guideline), rencana (Plan), peta (map), dan srategi yang dirancang untuk menerjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program atau kegiatan dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (social walfare).(suharto, 2005a).

Kebijakan sosial pada hakekatnya merupakan kebjakan publik dalam bidang kesejahteraan sosial. Dengan demikian makna “kebijakan” pada kata “kebijaksanaan sosial” adalah kebijakan publik sedang makna “sosial” menunjuk pada bidang atau sektor yang menjadi garapannya, yang dalam hal ini adalah sektor atau bidang kesejahteraan sosial (Suharto, 2008).

Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang diambil untuk merespon isu isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006:4) dalam Suharto (2009) : secara singkat kebijakan sosial menunjuk apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup manusia melalui beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program program tunjangan sosial lainya. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan) dan pengembangan (developmental).Dalam garis besarnya kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundangan-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan.

Mekanisme Kebijakan Sosial

1. Departemen pemerintahan. Sebagian besar negara menyerahkan tanggungjawab mengenai perumusan kebijakan sosial kepada kementrian, departemen atau lembaga-lembaga pemerintah yang berperan. Misalnya Departemen Sosial di Indonesia merupakan salah satu departemen yang memiliki kewenangan langsung dalam merumuskan kebijakan kesejahteraan sosial. Di Departemen Sosial, terdapat satu biro khusus yang memiliki kewenangan penting dalam kegiatan ini, yaitu Biro Perencanaan.

2. Badan Perencanaan Nasional. Dalam konteks pembangunan yang lebih luas, perumusan kebijakan sosial juga seringkali menjadi tugas khusus dari Badan Perencanaan Nasional yang sengaja dibentuk untuk merumuskan dan sekaligus mengatur mekanisme kebijakan sosial. Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) merupakan lembaga khusus yang menangani berbagai perencanaan sosial sekaligus perumusan kebijakan sosial dalam pembangunan nasional. Kebijakan yang dihasilkan lembaga ini kemudian menjadi acuan bagi departemen dan lembaga-lembaga terkait dalam melaksanakan berbagai program pembangunan.

3. Badan legislatif. Badan legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kewenangan dalam merumuskan kebijakan sosial. Lembaga ini biasanya memiliki komisi khusus yang mengurusi perumusan kebijakan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, di Indonesia, DPR memiliki komisi khusus yang bertanggungjawab mengatur urusan ekonomi, hukum, dan kesejahteraan sosial.

4. Pemerintah Daerah dan Masyarakat Setempat. Di sejumlah negara di mana administrasi pemerintahannya lebih terdesentralisasi, Pemerintah Daerah (PEMDA) memiliki peran yang sangat penting dalam perumusan kebijakan sosial, khususnya yang menyangkut persoalan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerahnya. Lebih-lebih lagi di negara-negara yang telah sangat matang menjalankan konsep demokrasi, masyarakat setempat memiliki hak dan kewenangan dalam mengungkapkan aspirasi kebutuhannya yang kelak menjadi bagian dari tema-tema penting dalam kebijakan sosial.

5. Lembaga Swadaya Masyarakat. Peranan lembaga-lembaga sosial atau organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP) adalah berbeda dalam setiap negara. Namun demikian, kini terdapat kecenderungan bahwa di negara-negara berkembang, pemerintah semakin memberi peran yang leluasa kepada sektor-sektor non pemerintahan untuk juga terlibat dalam perumusan kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini terutama terjadi sejalan dengan rekomendasi atau bahkan tekanan dari negara-negara donor yang memberi bantuan dan konsultasi finansial kepada negara yang bersangkutan. Selain itu, kini semakin disadari bahwa sebesar apapun pemerintah menguasai sumber-sumber ekonomi dan sosial, tidaklah mungkin mampu memenuhi kebutuhan segenap lapisan masyarakat secara memuaskan.

Perlindungan sosial

Salah satu dari tujuan ditetapkannya kebijakan sosial adalah untuk melindungi dan memenuhi hak hak sosial orang atau warga negara diantaranya adalah orang miskin. Perlindungan sosial dapat diartikan sebagai segala bentuk kebijakan dan intervensi public yang dilakukan untuk merespon beragam resiko, kerentanan dan kesengsaraan, baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial terutama yang dialami oeh meraka yang hidup alam kemiskinan (Suharto, 2009).

Foto : Rumah tangga sangat miskin

Dalam arti luas perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai segala inisiatif baik yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta mapun masyarakat yang bertujuan untuk menyediakan transfer pendapatan atau konsumsi pada orang miskin, melindungi kelompok rentan terhadap resiko resiko penghidupan (livelihood) dan meningkatkan status dan hak sosial kelompok kelompok yang terpinggirkan didalam suatu masyarakat (Suharto, et al ,2006). Perlindungan sosial merupakan elemen penting sebagai suatu strategi kebijakan publik untuk memerangi kemiskinan dan mengurangi penderitaan multidimensi yang dialami kelompok kelompok lemah dan kurang beruntung.

Skema perlindungan sosial meliputi bantuan sosial (sosial assistence, Asuransi sosial (social insurance) dan Jaminan kesejahteraan sosial berbasis masyarakat.

Bantuan sosial tidak ditetapkan berdasarkan insurance expertis. Manfaat bantuan sosial diberikan berdasarkan dana yang dihimpun dari pendapatan pajak. Pemerintah pusat dan daerah memberikan uang atau pelayanan sosial kepada penduduk sebagai bentuk kepedulian atau kewajiban negara terhadap pemenuhan hak-hak dasar warganya. Sistem bantuan publik adalah sebuah contoh tipikal dari bantuan sosial. Sasaran bantuan sosial diantaranya ; keluarga miskin, penganggur, anak anak, penca, lansia, yatim piatu, orang tua tunggal, pengungsi, korban bencana alam, konflik sosial dan lain sebagainya.

Perlindungan sosial merupakan sarana penting untuk meringankan dampak kemiskinan dan kemelaratan yang dihadapi oleh kelompok miskin beserta anak anak mereka. Namun demikian pperlindungan sosial bukan merupakan satu satunya pendekatan dalam strategi penanggulangan kemiskinan. Guna mencapai hasil yang efektif dan berkelanjutan dalam pelaksanaan strategi ini perlu dikombinasikan dengan pendekatan lain, seperti penyediaan pelayananan sosial, pendidikan, kesehatan secara terintegrasi dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Program Keluarga Harapan

Program keluarga Harapan (PKH) merupakan suatu program penanggulangan kemiskinan. Kedudukan PKH merupakan bagian dari program-program penanggulangan kemiskinan lainnya. Program keluarga harapan merupakan bentuk perlindungan sosial yang dilakukan oleh pemerintah dengan dikemas dalam bentuk bantuan sosial.

Program Keluarga Harapan (PKH) sebenamya telah dilaksanakan di berbagai negara, khususnya negara-negara Amerika Latin dengan nama program yang bervariasi. Namun secara konseptual, istilah aslinya adalah Conditional Cash Transfers (CCT), yang diterjemahkan menjadi Bantuan Tunai Bersyarat. Program ini "bukan" dimaksudkan sebagai kelanjutan program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang diberikan dalam rangka membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya belinya pada saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. PKH lebih dimaksudkan kepada upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat miskin.

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan sekaligus pengembangan kebijakan di bidang perlindungan sosial, Pemerintah Indonesia mulai tahun 2007 melaksanakan Program Keluarga Harapan (PKH). Program serupa di negara lain dikenal dengan istilah Conditional Cash Transfers (CCT) atau bantuan tunai bersyarat. Program ini bukan dimaksudkan sebagai kelanjutan program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang diberikan dalam rangka membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya belinya pada saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. PKH lebih dimaksudkan kepada upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat miskin. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, program serupa sangat bermanfaat terutama bagi keluarga dengan kemiskinan kronis. Pelaksanaan PKH di Indonesia diharapkan akan membantu penduduk termiskin, bagian masyarakat yang paling membutuhkan uluran tangan dari siapapun juga. Pelaksanaan PKH secara berkesinambungan setidaknya hingga tahun 2015 akan mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs). Setidaknya terdapat 5 komponen MDGs yang secara tidak langsung akan terbantu oleh PKH, yaitu pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, pendidikan dasar, kesetaraan gender, pengurangan angka kematian bayi dan balita, dan pengurangan kematian ibu melahirkan.

Dalam PKH, bantuan akan diberikan kepada rumah tangga sangat miskin (RTSM) dan sebagai imbalannya RTSM tersebut diwajibkan untuk menyekolahkan anaknya, melakukan pemeriksaan kesehatan termasuk pemeriksaan gizi dan imunisasi balita, serta memeriksakan kandungan bagi ibu hamil. Untuk jangka pendek, bantuan ini akan membantu mengurangi beban pengeluaran RTSM, sedangkan untuk jangka panjang diharapkan akan memutus rantai kemiskinan antar generasi.

Tingkat kemiskinan suatu rumah tangga secara umum terkait dengan tingkat pendidikan dan kesehatan. Rendahnya penghasilan keluarga sangat miskin menyebabkan keluarga tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan, untuk tingkat minimal sekalipun. Pemeliharaan kesehatan ibu sedang mengandung pada keluarga sangat miskin sering tidak memadai sehingga menyebabkan buruknya kondisi kesehatan bayi yang dilahirkan atau bahkan kematian bayi. Angka kematian bayi pada kelompok penduduk berpendapatan terendah pada tahun 2003 adalah 61 persen, sedangkan pada kelompok berpendapatan tertinggi tinggal 17 persen (SDKI 2003). Angka kematian ibu di Indonesia juga tinggi, yaitu sekitar 310 wanita per 100 ribu kelahiran hidup, atau tertinggi di Asia Tenggara. Tingginya angka kematian ibu ini disebabkan oleh tidak adanya kehadiran tenaga medis pada kelahiran, fasilitas kesehatan yang tidak tersedia pada saat dibutuhkan tindakan, atau masih banyaknya rumah tangga miskin yang lebih memilih tenaga kesehatan tradisional daripada tenaga medis lainnya.

Rendahnya kondisi kesehatan keluarga sangat miskin berdampak pada tidak optimalnya proses tumbuh kembang anak, terutama pada usia 0-5 tahun. Pada tahun 2003, angka kematian balita pada kelompok penduduk berpendapatan terendah adalah 77 persen per 1000 kelahiran hidup, sementara pada kelompok penduduk berpendapatan tertinggi hanya 22 persen per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2003). Pada tahun 2000-2005, terdapat kecenderungan bertambahnya kasus gizi kurang yang meningkat dari 24,5 persen pada tahun 2000 menjadi 29 persen pada tahun 2005. Gizi kurang berdampak buruk pada produktivitas dan daya tahan tubuh seseorang sehingga menyebabkannya terperangkap dalam siklus kesehatan yang buruk. Seringnya tidak masuk sekolah karena sakit dapat menyebabkan anak putus sekolah. Kondisi kesehatan dan gizi mereka yang umumnya buruk juga menyebabkan mereka tidak dapat berprestasi di sekolah. Sebagian dari anak-anak keluarga sangat miskin ada juga yang sama sekali tidak mengenyam bangku sekolah karena harus membantu mencari nafkah. Meskipun angka partisipasi sekolah dasar tinggi, namun masih banyak anak keluarga miskin yang putus sekolah atau tidak melanjutkan ke SMP/Mts. Kondisi ini menyebabkan kualitas generasi penerus keluarga miskin senantiasa rendah dan akhirnya terperangkap dalam lingkaran kemiskinan (Gambar 1).

Image

Gambar . Lingkaran perangkap kemiskinan

Berbagai indikator di atas menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar, khususnya bidang pendidikan dan kesehatan, terutama bagi RTSM perlu ditingkatkan sejalan dengan upaya pemerintah membangun sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan serta meluncurkan program-program yang ditujukan bagi keluarga miskin.

Masih banyaknya RTSM yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan disebabkan oleh akar permasalahan yang terjadi baik pada sisi RTSM (demand) maupun sisi pelayanan (supply). Pada sisi RTSM, alasan terbesar untuk tidak melanjutkan sekolah ialah karena tidak adanya biaya, bekerja untuk mencari nafkah, merasa pendidikannya sudah cukup, dan alasan lainnya. Demikian halnya untuk kesehatan, RTSM tidak mampu membiayai pemeliharaan atau perawatan kesehatan bagi anggota keluarganya akibat rendahnya tingkat pendapatan.

Sementara itu, permasalahan pada sisi supply yang menyebabkan rendahnya akses RTSM terhadap pendidikan dan kesehatan antara lain adalah belum tersedianya pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau oleh RTSM. Biaya pelayanan yang tidak terjangkau oleh RTSM serta jarak antara tempat tinggal dan lokasi pelayanan yang relatif jauh merupakan tantangan utama bagi penyedia pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Dari sisi kebijakan sosial, PKH merupakan cikal bakal pengembangan sistem perlindungan sosial, khususnya bagi keluarga miskin. PKH yang mewajibkan RTSM menyekolahkan dan memeriksakan kesehatan anak-anaknya, serta memeriksakan ibu hamil, akan membawa perubahan perilaku RTSM terhadap pentingnya kesehatan dan pendidikan bagi anak-anaknya. Perubahan perilaku tersebut diharapkan juga akan berdampak pada berkurangnya anak usia sekolah RTSM yang bekerja. Sebaliknya hal ini menjadi tantangan utama pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi keluarga miskin, dimanapun mereka berada.

Salah satu tujuan akhir dari PKH adalah meningkatkan partisipasi sekolah baik itu sekolah dasar maupun sekolah menengah. Menurut data BPS masih terdapat banyak anak usia sekolah yang tidak berada dalam sistem persekolahan. Untuk meningkatkan tingkat partisipasi sekolah maka keikutsertaan mereka yang berada di luar sistem persekolahan harus ditingkatkan. Sebagian besar dari mereka yang pada usia sekolah tidak berada dalam sistem persekolahan biasanya mereka menjadi pekerja anak dengan jumlah yang cukup besar.

Untuk meningkatkan partisipasi sekolah PKH harus dapat menjaring mereka yang berada di luar sistem persekolahan termasuk mereka yang menjadi pekerja anak. Pendamping PKH, terutama untuk daerah yang diduga banyak terdapat pekerja anaknya akan dibekali dengan pengetahuan berkaitan dengan bimbingan kepada pekerja anak dalam rangka mempersiapkan mereka kembali ke bangku sekolah.

Dengan demikian, PKH membuka peluang terjadinya sinergi antara program yang mengintervensi sisi supply dan demand, dengan tetap mengoptimalkan desentralisasi, koordinasi antar sektor, koordinasi antar tingkat pemerintahan, serta antar pemangku kepentingan (stakeholders).

Pada akhirnya, implikasi positif dari pelaksanaan PKH harus bisa dibuktikan secara empiris sehingga pengembangan PKH memiliki bukti nyata yang bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu, pelaksanaan PKH juga akan diikuti dengan program monitoring dan evaluasi yang optimal.

1.2 Pengertian

Program Keluarga Harapan adalah program yang memberikan bantuan tunai kepada RTSM. Sebagai imbalannya RTSM diwajibkan memenuhi persyaratan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan. UPPKH adalah unit pengelola PKH yang dibentuk baik di tingkat pusat dan daerah. Peserta PKH adalah rumah tangga sangat miskin . Pendamping PKH adalah pekerja sosial (dapat berasal dari Pekerja Sosial Masyarakat, Karang Taruna, sarjana penggerak pembangunan, dan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya) yang direkrut oleh UPPKH melalui proses seleksi dan pelatihan untuk melaksanakan tugas pendampingan masyarakat penerima program dan membantu kelancaran pelaksanaan PKH.

1.3 Tujuan

Tujuan utama dari PKH adalah untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama pada kelompok masyarakat miskin. Tujuan tersebut sekaligus sebagai upaya mempercepat pencapaian target MDGs. Secara khusus, tujuan PKH terdiri atas ; Meningkatkan kondisi sosial ekonomi RTSM; Meningkatkan taraf pendidikan anak-anak RTSM; Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu nifas, dan anak di bawah 6 tahun dari RTSM; Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi RTSM.

1.4 Sasaran PKH

Sasaran program penerima bantuan PKH adalah RTSM yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15 tahun dan/atau ibu hamil/nifas. Bantuan tunai hanya akan diberikan kepada RTSM yang telah terpilih sebagai peserta PKH dan mengikuti ketentuan yang diatur dalam program. Agar penggunaan bantuan dapat lebih efektif diarahkan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, bantuan harus diterima oleh ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan (dapat nenek, tante/bibi, atau kakak perempuan). Untuk itu, pada kartu kepesertaan PKH akan tercantum nama ibu/wanita yang mengurus anak, bukan kepala rumah tangga.

Foto : Sasaran penerima PKH

1.5 Pelaksanaan PKH

Untuk tahun 2007, PKH dilaksanakan pada beberapa daerah uji coba dengan sasaran sebanyak 500 ribu RTSM. Tujuan uji coba ini adalah untuk menguji berbagai instrumen yang diperlukan dalam pelaksanaan PKH, seperti antara lain metode penentuan sasaran, verifikasi persyaratan, mekanisme pembayaran, dan pengaduan masyarakat.

PKH akan dilaksanakan setidaknya sampai dengan tahun 2015. Hal ini sejalan dengan komitmen pencapaian MDGs, mengingat sebagian indikatornya juga diupayakan melalui PKH. Selama periode tersebut, target peserta secara bertahap akan ditingkatkan hingga mencakup seluruh RSTM dengan anak usia pendidikan dasar dan ibu hamil/nifas.Peserta PKH akan menerima bantuan selama maksimal 6 tahun. Hal ini berdasar pada pengalaman pelaksanaan program serupa di negara-negara lain yang menunjukan bahwa setelah 5-6 tahun peserta dapat meningkat kualitas hidupnya. Untuk itu, setiap 3 tahun akan dilakukan resertifikasi terhadap status kepesertaan. Apabila setelah 6 tahun kondisi RTSM masih berada di bawah garis kemiskinan, maka untuk exit strategy PKH memerlukan koordinasi dengan program lain yang terkait seperti antara lain ketenagakerjaan, perindustrian, perdagangan, pertanian, pemberdayaan masyarakat, dan sebagainya.

Foto : suasana penyaluran bantuan

Foto : Terimakasih pak !

Demikianlah PKH merupakan salah satu contoh dari sistem perlindungan sosial. Skema skema jaminan sosial yang lainya, seperti jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, kematiandan seterusnya merupakan bentuk bentuk lain dari perlindungan sosial yang umumya diselenggarakan secara formal dan melembaga, dimana perlindungan sosial adalah wujud dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warga negaranya melalui kebijakan sosial yang berujud bantuan sosial (social assistance).

Daftar Pustaka

- Suharto, Edi (2009), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosisl & Pekerjaan Sosial. Bandung : Refika Aditama Cetakan ketiga Februari 2009.

- Suharto, Edi (2009), Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan. Bandung : Alfabeta Cetakan pertama Mei 2009.

- Suharto, Edi (2008), Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik. Bandung Alfabeta Cetakan kedua 2008.

- pkh.depsos.go.id/index.php_____ Program Keluarga Harapan