TEORI KEMISKINAN
Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.
Ada banyak teori tentang kemiskinan, namun menurut Michael Sherraden (2006:46-54) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yang saling bertentangan dan satu kelompok teori yang tidak memihak (middle ground), yaitu teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu (behavioral), teori yang mengarah pada struktur social, dan yang satu teori mengenai budaya miskin. .
Menurutnya Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan capital manusia (human capital). Teori ini disajikan dalam teori ekonomi neo-klasik, yang berasumsi bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Perspektif ini sejalan dengan teori sosiologi fungsionalis, bahwa ketidak setaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Terori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. .
Teori Struktural yang bertolak belakang dengan terori perilaku memandang bahwa hambatan-hambatan structural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variasi teori structural ini terfokus pada topic seperti ras, gender atau ketidak sinambungan geografis dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras. .
Teori budaya miskin yang dikembangkan oleh Oscar Lewis dan Edward Banfield ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya. .
Menurut Michael Sherraden bahwa dalam berbagai bentuk, teori budaya miskin ini berakar pada politik sayap kiri (Lewis) dan politik sayap kanan (Banfield). Dari sayap kiri, perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin, yang mengindikasikan bahwa adanya disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional terhadap keadaan-keadaan yang sulit (Michael Sherraden : 2006, Parsudi Suparlan : 1995). Dengan kata lain kelompok sayap kiri cenderung melihat budaya miskin sebagai sebuah akibat dari struktur social. Sebaliknya kelompok sayap kanan melihat tingkah laku dan budaya masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam struktur social. .
Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga . .
Seperti BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. .
Sedangakn pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. .
Berbeda dengan pendekatan lainnya Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Kemiskinan adalah konsep abstrak yang dapat dijelaskan secara berbeda tergantung dari pengalaman, perspektif, sudut pandang yang diambil, dan terkadang dari ideologi yang dianut. Diawali hanya aspek ekonomi, berbagai pemikiran baru tentang kemiskinan yang memasukkan aspek ketidakberdayaan (powerlessness) dan keterkucilan (isolation), kerentanan (vulnerability) dan keamanan (security) muncul sebagai konsep yang banyak dikaitkan dengan kemiskinan. Selain itu juga dikembangkan pemahaman mengenai penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) (Ellis, 1998). Amartya Sen kemudian menekankan perlunya meningkatkan kemampuan individu yang memungkinkan mereka melaksanakan kegiatan dalam masyarakat. Belakangan juga dimasukkannya relasi gender dalam konsep kemiskinan. Akhirnya, pada 1990an konsep kemiskinan diperluas dengan munculnya gagasan mengenai kesejahteraan (well-being) dan ketersisihan sosial (social exclusion). Perkembangan itu mengilhami pengertian kemiskinan dalam Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK, 2004), yang mendefinisikan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya (meliputi hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi, tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan hak untuk berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan) untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Secara umum, kemiskinan biasa didefinisikan sebagai kondisi keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Definisi ini mengandung dua kata kunci, yaitu keterbatasan kemampuan dan hidup secara layak. Bentuk keterbatasan kemampuan sangat bervariasi, dan antara lain dapat berupa keterbatasan keterampilan, kondisi kesehatan, penguasaan aset ekonomi dan keterbatasan informasi. Sedangkan ukuran hidup secara layak akan sangat bervariasi tergantung pada norma dan kesepakatan sosial.
Konsep kemiskinan yang dirumuskan pada gilirannya melahirkan atribut-atribut kemiskinan sebagai penanda. Awalnya, atribut-atribut kemiskinan dilihat sebagai sesuatu yang absolut sebagai kondisi serba kekurangan materi. Para ilmuan kemudian membuat batas antara yang dapat disebut miskin dengan tidak miskin dengan “garis kemiskinan”, yaitu derajad kepemilikan materi atau standar kelayakan hidup orang (-orang) atau keluarga yang berada di garis atau di bawah garis subsisten. Indikatornya sangat terukur, dimana ada standar kehidupan yang dikategorikan secara berjenjang, yakni di bawah garis kemiskinan, pada garis kemiskinan, di atas garis kemiskinan. Kemiskinan absolut diukur dengan menggunakan garis kemiskinan yang konstan sepanjang waktu yang biasanya berupa jumlah atau nilai pendapatan dalam unit uang. Namun ukuran bisa pula berbentuk jumlah konsumsi kalori, atau lainnya, yang memungkinkan adanya perbedaan jumlah atau nilai perbedaan pendapatan dalam unit uang. Parameter ini merupakan ukuran yang tetap. Kriteria pengukuran seperti itu diperoleh dari pendekatan yang gunakan, yaitu pendekatan biologis dan pendekatan kebutuhan dasar.
Kemiskinan absolut dalam pengukurannya menggunakan pendekatan obyektif. Disebut obyektif karena indikatornya telah ditentukan oleh mereka yang bukan golongan miskin, misalnya BPS dan BKKBN. Masalahnya kemudian, data BPS dan BKKBN yang menunjukkan jumlah orang miskin di Indonesia sulit dipakai untuk poverty targeting yang bisa melacak siapa sesungguhnya yang miskin di Indonesia karena ketiadaan garis kemiskinan yang fair dan well defined karena garis kemiskinan BPS sangat konservatif dan sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan. Selain itu data kemiskinan versi BPS adalah data agregat (nasional) yang merupakan hasil estimasi dari sampel. Data seperti ini tidak bisa digunakan sebagai basis program pengentasan kemiskinan karena tidak bisa menunjukkan siapa dan dimana orang miskin itu berada. Data ini secara inheren dirancang untuk melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis kemiskinan, dimana orang miskin menjadi anonim, hanya berupa angka. Sementara itu data dari BKKBN yang berbasis data rumahtangga pra sejahtera memiliki kriteria yang sangat beragam namun sering tidak sesuai dengan kondisi. Selain itu kedua sumber data ini juga memiliki keterbatasan tidak dapat menangkap karakter kemiskinan itu sendiri. Sampai saat ini, ukuran tersebut tetap digunakan untuk menghitung jumlah dan penentuan sasaran program-program penanggulangan kemiskinan. Atribut-atribut absolut tersebut selanjutnya dipertanyakan oleh berbagai pihak, baik “garis kemiskinan” itu sendiri maupun atribut lain-lain yang lebih luas atau multidimensi dari sekedar atribut ekonomi. Dengan demikian, atribut kemiskinan menjadi relatif berdasarkan realita empirik.
Memandang kemiskinan sebagai gejala relatif adalah kriteria yang berasas arbitrer sehingga kemiskinan mungkin justru berada dalam fraksi tertentu orang-orang yang berpenghasilan rata-rata atau di bawahnya. Dengan menggunakan model kemiskinan absolut, lebih sedikit orang yang termasuk dalam kategori miskin daripada kalau menggunakan model kemiskinan relatif. Model kemiskinan relatif, meskipun lebih menggambarkan realita empirik yang penting bagi tujuan penelitian ilmiah sosial namun batas-batasnya seringkali kabur bagi tujuan pembuatan kebijakan. Bahkan golongan miskin memungkinkan akan lebih banyak orang masuk dalam kategori miskin. Batas-batas kabur ini menggambarkan relativitas dinamik dari golongan miskin sebagaimana ditemukan dalam realitas empirik. Model pengukuran kemiskinan relatif ini dikenal dengan pendekatan subyektif, dimana atribut-atribut sebagai penanda kemiskinan ditentukan oleh golongan miskin dan warga di sekitarnya. Pengumpulan data dalam hal ini biasanya dilakukan melalui proses ‘kajian partisipatif’, misalnya participatory poverty assessment (PPA), PRA dan sejenisnya.
Atribut-atribut (absolut dan relatif) kemiskinan pada dasarnya dibuat untuk mempermudah mengetahi ada dan tidaknya fenomena kemiskinan dan siapa saja yang bisa disebut golongan miskin atau lebih dikenal dengan data kemiskinan. Saat kemiskinan dianggap ada, lalu dipandang sebagai masalah dan kemudian akan ditanggulangi oleh berbagai pihak. Penanggulangan kemiskinan bukan pada penghilangan atribut-atribut kemiskinan --karena atribut-atribut itu bersifat relatif, meski ada yang (di)absolut(kan)--, melainkan menemukan sebab-sebab bagaimana atribut-atribut itu hadir. Pemahaman mengenai penyebab kemiskinan inilah yang pada akhirnya menentukan keberhasilan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan.
Dalam ilmu sosial, sebab-sebab kemiskinan secara dominan dipengaruhi oleh dua pendekatan besar, yaitu budaya kemiskinan dan kemiskinan struktural. Pendekatan budaya kemiskinan sangat dipengaruhi oleh Lewis (1961, 1966), yang memandang bahwa kebudayaan menyebabkan sekaligus memantapkan kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan merupakan cara hidup yang tidak hanya dikembangkan oleh golongan miskin, tetapi juga ditransmisikan dari generasi ke generasi. Pada cara hidup, golongan miskin dipandang sebagai satuan sosial yang diskret, menyandang suatu kebudayaan kemiskinan yang khas, yang berbeda dari masyarakat lain di luarnya. Perbedaan budaya itu pada gilirannya menjadikan orang miskin tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat yang lebih luas, yang pada tahap selanjutnya mereka mengembangkan seperangkat coping mechanism yang dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif seperti kehidupan yang kacau, hilangnya masa kanak-kanak dalam siklus kehidupan orang miskin, maraknya gejala hidup bersama tanpa menikah, maraknya gejala tindak kriminal dan banyaknya anak-anak yang ditinggalkan orang tua. Pada situasi itu, orang miskin dicirikan dengan atribut-atribut khusus, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tingkat pendidikan rendah, serta tidak mempunyai daya juang dan kemampuan untuk memikirkan masa depan.
Pendekatan kebudayaan kemiskinan yang dikembangkan Lewis memiliki andil dalam mengungkap penyebab kemiskinan, namun konsep itu tidak sepenuhnya dapat menjelaskan penyebab kemiskinan yang terjadi pada golongan miskin. Kelemahan konsep budaya kemiskinan karena anti sejarah dan mengesampingkan asal-usul kelakuan dan norma-norma yang ada (Gans, 1984 [dalam Baker 1980: 6). Konsep itu sangat normatif dan hanya merupakan kecurigaan dan prasangka buruk golongan atas terhadap golongan miskin. Padahal bukti empiris menunjukkan bahwa orang miskin adalah pekerja keras, mempunyai aspirasi dan motivasi untuk memperbaiki nasib. Mereka mampu menciptakan pekerjaan sendiri serta bekerja keras untuk memenuhi tuntutan hidup (Papanek dan Kuncorojakti, 1986). Di samping itu, mereka juga berusaha merubah nasib dengan cara beralih dari satu usaha ke usaha lainnya dan tidak mengenal putus asa. Bahkan kehadiran mereka di kota mempunyai andil dalam menopang kehidupan di kota (Suparlan, 1993). Melalui kegiatannya, mereka memberikan peluang bagi warga kota menikmati pelayanan yang murah. Kenyataan ini merupakan bukti bahwa kaum miskin tidak seperti digambarkan oleh Lewis dalam kebudayaan kemiskinan. Sehingga kemiskinan dengan demikian lebih dominan berwajah struktural.
Cara pandang struktural berpendapat bahwa struktur sosial memantapkan kemiskinan. Tekanan-tekanan struktural seperti politik dan ekonomi mengakibatkan sejumlah orang dalam populasi terdorong ke posisi yang tidak menguntungkan. Sebagai bagian dari struktur, mereka tidak atau kurang mampu menghadapi struktur yang demikian kuat, sehingga secara relatif tetap lemah dalam posisi itu (Valentine 1968). Kemiskinan struktural menurut Alfian (1980:5) didefinisikan sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu, tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Pendekatan ini dilandasi oleh kenyataan bahwa meskipun sumberdaya yang cukup besar telah disalurkan ke sektor-sektor yang didominasi golongan miskin. Namun golongan miskin tidak mendapat keuntungan dari sumber daya tersebut karena adanya struktur yang menjadi penghalang. Struktur yang dimaksud di sini adalah struktur kekuasaan dan tata pemerintahan, serta struktur sosial lebih luas yang menyebabkan terjadinya ketimpangan, ketersisihan dan hilangnya kapabilitas seseorang untuk mendapatkan sumberdaya yang ada. Struktur-struktur yang ada dianggap telah melakukan pemiskinan dengan merampas daya sosial sosial, budaya, ekonomi dan politik sekelompok orang (GAPRI, 2005), mengungkung dan menghalangi golongan miskin untuk maju, yang kemudian diberi atribut sebagai golongan yang tidak berdaya. Proses pemiskinan (terstruktur) hampir selalu dilakukan oleh pihak-pihak yang akan diuntungkan jika kemiskinan bisa dilanggengkan. Pihak-pihak tersebut bisa aparat negara (dalam konteks berbangsa dan bernegara), bisa pula para tetua dan tokoh masyarakat (toma), tokoh adat (toda), dan tokoh agama (toga) di lingkungan komunitas itu sendiri.
Meski kedua pendekatan ini memiliki penekanan yang berbeda --kebudayaan dan struktur sosial dalam tulisan ini adalah dua dimensi analisis yang berbeda--, keduanya berada dalam ruang paradigma struktural-fungsionalisme. Struktur-fungsionalis memandang bahwa fungsi adalah tugas sosial, suatu kegiatan yang harus dilaksanakan dengan tingkat ketepatan tertentu (Saifuddin, 2005: 159). Setiap individu menempati status yang menjadi posisinya, maka kemiskinan merupakan tugas yang harus diemban karena struktur-struktur yang ada adalah baik dan ideal. Walaupun merespon, berada dalam bentuk yang kira-kira seperti robot terhadap tekanan struktural. Kedua pendekatan ini memandang masyarakat (miskin) sebagai suatu kesatuan sosial yang secara budaya khas, tunggal, dan memiliki batas-batas tegas (culturally distinctive). Dengan kata lain, “orang miskin” dalam kedua pendekatan kemiskinan ini dilihat sebagai objek statis dan tidak berdaya, baik sebagai sasaran penelitian maupun sebagai sasaran program kebijakan. Kedua pendekatan ini memandang bahwa golongan miskin tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan kebudayaan dan struktur sosial. Kegiatan manusia dipandang terhambat sedemikian jauhnya, hingga tidak ada ruang bagi pilihan yang dilakukan secara sadar, yang ada hanyalah pilihan tunggal. Orang miskin hanya pelaku sosial pasif yang hanya menyerahkan kepada perbudakan ekonomi dan politik. Tindakan sosial orang miskin dibentuk dan diatur oleh struktur-struktur raksasa yang pada umumnya tak memperdulikan pilihan-pilihan secara eksplisit. Merujuk pada Soedjatmoko, (1980: 47) orang miskin seperti seseorang yang lahir dalam berbagai struktur sosial, dan atas kekuatan sendiri ia tak mampu untuk menguasai atau mengubah struktur.
Menurut Kieffer (1984: 9 [dalam Soeharto, 1977: 212-213), ketidakberdayaan merupakan hasil pembentukan interaksi terus-menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan-diri sendiri, perasaan tidak dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan politik. Dengan demikian orang miskin baik akibat kebudayaan dan struktural adalah sama, statis = ketidakberdayaan sehingga perlu diberdayakan. Merujuk pada Black (dalam Gardner dan Lewis, 2005: 192), pemberdayaan dilukiskan sebagai ihwal “mengasuh, memerdekakan dan bahkan memberi tenaga kepada kaum miskin dan tidak berdaya”. Dari sinilah kebijakan penanggulangan kemiskinan lebih banyak diarahkan pada upaya-upaya pemberdayaan dan fasilitasi partisipasi masyarakat miskin dalam kegiatan masyarakat, asumsinya akan menciptakan peluang bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Menurut Sajogyo (2002) pemberdayaan kaum miskin adalah kunci pengentasan kemiskinan. Ada yang memahami pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Pemberdayaan berangkat dari realitas obyektif yang merujuk pada kondisi struktural yang timpang dari sisi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya masyarakat (Breton, 1994). Dia juga mengatakan bahwa realitas subyektif perubahan pada level individu (persepsi, kesadaran dan pencerahan), memang penting, tetapi sangat berbeda dengan hasil-hasil obyektif pemberdayaan: perubahan kondisi sosial. “Setiap individu tidak bisa mengembangkan kamampuan dirinya karena dalam masyarakat terjadi pembagian kerja yang semu, relasi yang subordinatif, dan ketimpangan sosial”, demikian tulis Heller (1994: 185).
Pemberdayaan diasumsikan melibatkan partisipasi kaum miskin dan menempatkan mereka sebagai subyek pembangunan. Partisipasi menjadi wacana penting gerakan pembangunan global pada dasawarsa 80-an. Titik utama pendekatan ini adalah pelibatan kaum miskin sehingga preskripsi pembangunan merefleksikan kepentingan mereka dari pada perencana. Pelibatan kaum tentu tidak saja karena asumsi ontologism bahwa semua orang punya hak yang sama, tetapi juga karena pandangan epistemologis bahwa kebenaran ataupun pengetahuan bukan hanya monopoli dari perencana atau peneliti saja, tetapi juga kaum miskin. Keberanan juga bersifat inter-subyektif sehingga penggaliannya harus melalui proses-proses partisipatif (Fakih, 2002). Pendekatan partisipatoris dalam penanggulangan kemiskinan ini semakin popular ketika Bank Dunia memahami kemiskinan dengan menggunakan pendekatan yang kini banyak dikenal dengan Participatory Poverty Assessment (PPA) dalam Consultation with the Poor/Voices of the Poor yang dimulai pada 1999 dengan melibatkan 23-60 negara, termasuk Indonesia.
Masalahnya kemudian, konsep pemberdayaan dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia banyak meminjam pendekatan terhadap kemiskinan yang berlaku di negara-negara maju seperti Amerika Serikat di mana orang miskin adalah minoritas, khas secara ras atau etnik, dan memiliki sejarah perbudakan di masa silam. Model-model penanggulangan kemiskinan tersebut biasanya memandang orang miskin sebagai kelompok-kelompok yang hidup sebagai kantung-kantung masyarakat di perkotaan. Indonesia dalam banyak hal sangat dipengaruhi oleh pendekatan seperti itu. Sebagai contoh, model-model yang diusulkan oleh Mukherjee (1999), World Bank (2001), dan Mukerjee, Harjono, Carriere (2002), yang menanggapi orang miskin sebagai kelompok-kelompok sosial yang perlu diberdayakan dan difasilitasi. Bantuan bagi orang miskin yang paling menonjol belakangan ini adalah uang tunai, yang ternyata juga penuh muatan manipulatif.
Kenyataan dari dua pendekatan kemiskinan dan praktik-praktinya, pada gilirannya membuat pertanyaan dimana sebenarnya posisi orang miskin sebagai subjek yang aktif, kreatif, dan bahkan manipulatif dalam menghadapi lingkungannya. Bukankah tingkat kemampuan orang untuk membentuk dan mengubah lingkungan merupakan persoalan empiris dan analitis? Kedua pendekatan kemiskinan sebelumnya seperti tidak peduli akan berapa jauhnya kaum miskin sebagai para pelaku sosial berjuang untuk mempertahankan hidup dengan kekuasaan yang mereka miliki. Adalah Nancy S. Hughes (1992) mencoba menjembatani posisi orang miskin di antara determinasi budaya dan dominasi struktur melalui penelitiannya di Alto de Cruzeiro, Brasil. Hughes berpendapat bahwa orang miskin maupun orang yang tidak miskin memiliki kapasitas dan potensi untuk mengembangkan strategi-strategi kreatif maupun manipulatif dalam menghadapi lingkungannya. Inilah yang mengawali pendekatan kemiskinan sebagai proses (Saifuddin, 2007; Ghofur, 2008).
Dalam penelitiannya, Hughes berupaya mengungkapkan kemiskinan menurut apa yang sesungguhnya terjadi dalam realitas empirik. Orang miskin diposisikan sebagai subjek yang berpikir dan bertindak, mengembangkan takik-taktik agar bertahan hidup. Bagi Hughes, praktik kehidupan keseharian dari orang miskin (di Alto de Cruzeiro) tidak bisa dikatakan sebagai sebuah budaya kemiskinan yang terberi begitu saja, tetapi itu merupakan praktik kehidupan keseharian sebagai usaha paling optimal dari kondisi masyarakat yang sedemikian rupa. Apalagi penderitaan yang dialami oleh masyarakat miskin melalui sejarah yang panjang melalui perlawanan bersenjata. Hughes memaparkan betapa setiap upaya masyarakat miskin untuk keluar dari situasi itu ternyata justru dicederai. Pengalaman itu menjadikan orang miskin pesimis terhadap tawaran revolusioner, yang pada gilirannya akan memperkenalkan dan mengembangkan cara-cara baru sebagai sesuatu kekuatan konkrit untuk mengubah kondisi. Dalam arti ini pemikiran Weber tentang ide sebagai kekuatan adalah benar. Ide itu sendiri juga mengubah dirinya melalui proses tindakan. Melalui pengalaman-pengalaman kaum miskin mendapatkan ide-ide dan kemungkinan-kemungkinan baru, menemukan bentuk-bentuk dan elemen baru di bidang materi, sosial dan kultural. Hal-hal baru itu pada gilirannya dipraktikkan atau mempengaruhi tindakan, maka terbukalah panggung untuk belajar lebih jauh. Orang miskin kemudian melakukan apapun untuk bertahan, termasuk dengan humor, misalnya humor mengenai proyek saluran air yang gagal dengan mengatakan ”kita tidak akan cukup makan jika proyek ini berhasil”. Setiap bantuan bagi mereka tidak pernah berarti sehingga terkadang kebisuan adalah sesuatu yang bisa melindungi mereka. Mereka sepertinya memaklumi para penjahat politik-ekonomi.
Memposisikan orang miskin sebagai subjek berarti, menerima kekuasaan, agensi, pilihan dan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan dari subjek tertindas, seseorang harus memulai meyakini kemampuan kelompok tertindas secara moral untuk merasionalisasi, berkolusi, mengkolaborasi “kesadaran palsu,” dan lebih dari sekedar kelumpuhan kehendak. Dan upaya memahami bentuk-bentuk perlawanan keseharian dalam taktik dan praktik kaum lemah seperti yang dipaparkan oleh Michel de Certeau, dan James Scott, merupakan resiko meromantisir manusia yang menderita, tapi apakah kemudian akan mengabaikan efeknya terhadap ruh, kesadaran dan kehendak orang miskin. Kemampuan memberi makna, menjalin hubungan-hubungan baik dengan kerabat dan non kerabat sebagai bagian dari upaya bertahan hidup. Hughes juga menampilkan kekerasan dalam praktik keseharian orang miskin. Pembunuhan, penghilangan orang, penjualan organ tubuh, penculikan adalah hal yang dialami sehari-hari. Kekerasan muncul dari institusi negara, termasuk dalam hal ini institusi keamanan dan penegak hukum. Institusi ini terus-menerus melakukan teror ketakutan kepada masyarakat miskin. Negara juga mengontrol secara ketat masyarakat miskin, melalui penahanan, interogasi, penjara, penghilangan orang, mutilasi, dan bahkan pembunuhan. Namun kekerasan yang dipratikkan negara melalui aparatnya bukanlah sesuatu yang maha kuat sebagaimana yang dibayangkan. Menurut Hughes, aturan dan struktur bukan merupakan nilai yang tetap atau sesuatu yang tidak dapat ditembus, melainkan menjadi sesuatu yang selalu dapat diterobos melalui beragam cara, misalnya hubungan antara si pelaku kriminal dan penjaga penjara yang berkolusi membebaskan pelaku kriminal.
Dalam hal di atas, bagi orang miskin, keadaan materi, dan lembaga dan kultur dipandang sebagai faktor penghambat, namun di sana ada fleksibilitas struktur yang membuka peluang bagi golongan miskin untuk bertindak dan melalui tindakan strukturisasi itu mereka mempertahankan atau mengubah sistem tempat mereka bertindak dan berinteraksi. Golongan miskin menyerap dan menata informasi, mempertimbangkan, membuat keputusan dan bertindak berdasarkan kepentingan mereka. Pada saat bersamaan, golongan miskin juga menginterpretasikan norma, aturan dan situasi dengan cara yang baru dan yang tak pernah diduga. Hal ini menunjukkan bahwa orang miskin pada dasarnya memiliki kekuasaan, yaitu kemampuan untuk menggerakkan dan mempengaruhi aktifitas sosial yang akan menguntungkan kepentingan orang miskin, dengan cara memanipulasi atau mengubah aturan permainan dan kesempatan-kesempatan bertindak. Dengan kata lain, kaum miskin dapat berbuat lebih dari sekedar merespon tekanan sosiokultural, di mana struktur sosial sebagai cair dan berubah, dan individu secara konstan berkompetisi dan memperebutkan sumberdaya yang terbatas untuk kepentingan sendiri dan selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan (Saifuddin, 2005: 177). Akhirnya, kemiskinan adalah praktik kehidupan sehari-hari orang miskin, yang turut serta mengkonstruksi makna kemiskinan berdasarkan kehendak mereka. Subjek mengetahui diri melalui refleksi atas tindakannya sendiri di dunia yang bukan semata-mata pengalaman, melainkan juga tindakan yang disengaja (284). Dalam hal ini, orang miskin menggunakan kemiskinan yang mereka maknai sebagai taktik-taktik mempertahankan hidup melalui pembenaran-pembenaran terhadap pandangan hidup mereka.
Menurut Paul Spicker (2002, Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths, A Catalyst Working Paper,
- Individual explanation, diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendiri: malas, pilihan yang salah, gagal dalam bekerja, cacat bawaan, belum siap memiliki anak dan sebagainya.
- Familial explanation, akibat faktor keturunan, dimana antar generasi terjadi ketidakberuntungan yang berulang, terutama akibat pendidikan.
- Subcultural explanation, akibat karakteristik perilaku suatu lingkungan yang berakibat pada moral dari masyarakat.
- Structural explanations, menganggap kemiskinan sebagai produk dari masyarakat yang menciptakan ketidakseimbangan dengan pembedaan status atau hak.